Apa Pantas Berharap Surga?

images31Salat duha hanya dua rakaat, qiyamullail (tahajud) juga hanya dua rakaat, itu pun sambil terkantuk-kantuk. Salat lima waktu?Sudah jarang di masjid. Memilih ayatnya juga yang pendek-pendek agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu. Lupa pula dengan salat rawatib sebelum maupun sesudah salat wajib. Satu lagi, semua diatas itu  belum termasuk catatan: “kalau tidak telambat” atau “asal tidak bangun kesiangan”. Dengan salat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah?

Padahal Rasulullah saw dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki mereka bengkak karena terlalu lama berdiri karena khusyuknya. Kalimat-kalimat pujian dan permohonan tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika azan berkumandang, segera sahabat meninggalkan smua aktifitas menuju sumber panggilan. Kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata.

Membaca Al-Quran sesempatnya, itu pun tnpa memahami arti dan maknanya,  apalagi meresapi hikmah yang tekandung di dalamnya. Ayat-ayat yang mengalir dari lidah tidak sedikit pun membuat dada bergetar. Padahal tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah, tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang semapt dibaca sehari , itu pun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini mengaku beriman?

Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah saw. yang menahan nafas mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka terhenti, tidak melanjutkan bacaan karena mencoba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Tidak jarang mereka hiasi mushaf (Al Quran) di tangan mereka dengan tetes air mata. Setiap tetes akan menjadi saksi untuk melafalkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengalaman tertinggi.

Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalaupun ada, dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, ya hitung-hitung ikut meremaikan. Sudah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap kebaikan dan kasih Allah?

Rasulullah saw adalah manusia yang paling dirindui: senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata milik Khadijah ra, Aisyah ra, dan istri-istri beliau yang lain. Juga bukan semata teruntuk Fatimah ra dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekalipun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal saleh , berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.

Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah “sumpah tujuh turunan”. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjing aib dan kejelekan saudara sendiri. Detik demi detik dada ini terus jengkel setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapat bencana.

Sudah demikian pkatkah hati yang tertanam dada ini? Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah saw kelak?

Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilih wajah indah pula. Tak inginkah kita menadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri?

Dengan adik tidak akur, kapada kakak tidak hormat, terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tidak butuh apa pun selain sikap ramah dan penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah. Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surgDari ridha Allah diraih. Kaki mulia ibulah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah saw yang sejak kecil tidak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu? Bahkan beliau menyebut “ibu” tiga kali sebelum kemudian “ayah”.

Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangan lumbut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus mengunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu penyesalan.

Astaghfirullaah….